Esai : Yusron Aminulloh
KALAU kita menghadapi masalah dengan kalut, menyalahkan orang lain, penuh curiga, dan membiarkan api prasangka membara, maka yang datang kepada kita adalah faktor non Tuhan. Sebaliknya, kalau kita hadapi masalah dengan tabah, merenung, ikhlas mengoreksi diri, maka yang datang adalah nilai-nilai Ketuhanan. Seorang bapak mengeluh saat dialog dengan saya dalam sebuah konsultasi.
“Saya, kalau mendapat satu masalah, kok tiba-tiba masalah baru selalu mengikuti. Bahkan masalah datang bertubi-tubi. Bagaimana ini, Pak? Apa salah saya?” “Ini bukan soal salah atau benar. Tetapi soal periodesisasi,” jawab saya. “Apa maksudnya, Pak?”
“Setiap manusia selalu melewati masa dan periode seperti itu. Coba Bapak ingat-ingat lagi. Ketika Bapak sedang mendapat kemudahan, rezeki dan keindahan hidup, maka biasanya kemudahan, rejeki dan keindahan hidup lainnya itu terasa datang bertubi-tubi. Saat seperti itu kadang kita kurang bersyukur dan lalai karena bergelimang dengan kemudahan demi kemudahan.”
“Ya betul, Pak. Tetapi sekarang saya sedang pusing, Pak. Datang satu masalah, di belakangnya masalah lain menyusul. Bahkan saya sampai dimusuhi banyak orang karena saya akhir-akhir ini suka marah-marah. Orang yang tidak salah pun jadi kena getahnya.
Anak, istri, semua teman, saya marahi dengan kasar. Sahabat saya, orang yang selama ini banyak kerjasama, juga kena getahnya karena saya marahi. Saya seperti tidak sadar telah banyak menggunakan kata-kata kasar yang sebelumnya tidak pernah saya gunakan. Kenapa saya ini, Pak?”
“Sudahlah, tenang dulu. Itu dialami semua orang yang belum memahami makna masalah. Orang yang belum bisa menempatkan masalah sebagai salah satu jejak yang harus dihadapi. Belum mengerti bahwa ummat manusia secara sunatullah akan menghadapi masalah.” “Maksudnya, Pak?”
“Ada dua tipe orang bermasalah. Pertama, orang bermasalah dan semakin bermasalah. Ini karena mereka menghadapi masalah dengan emosi, kemarahan, dan bahkan tidak satu titik pun menyalahkan dirinya, tetapi justru menyalahkan orang lain.” “Memang orang lain yang membuat dia menjadi bermasalah.
Masak tidak boleh menyalahkan orang lain?” sergah Bapak itu. “Nah ini kesalahan memposisikan diri. Orang yang punya masalah kemudian dikendalikan oleh amarah, kalut, menyalahkan orang lain, curiga, dan api prasangka membara, maka yang datang kepadanya adalah faktor non Tuhan.” “Apa maksud Bapak dengan faktor non Tuhan itu?”
“Faktor non Tuhan adalah perilaku yang dikendalikan oleh nilai yang bertentangan dengan kebaikan, kelembutan, keadilan dan kebersahajaan.” “Makin bingung, saya.” “Begini mudahnya. Kalau orang kena masalah lalu semakin gampang marah, maka emosi menjadi pengendalinya. Dan, pengendalinya itu pasti syetan. Bukan Tuhan.
Allah SWT tidak pernah membimbing manusia untuk menjadi pemarah.” “Tapi…” “Bahkan, tanpa sadar, orang yang bermasalah tipe satu ini biasanya kehilangan rasa adilnya. Ia tiba-tiba membuang jasa semua orang, meremehkan dan menihilkan semua orang, karena kekalutan pikirannya membuat dia tidak adil. Dia dikendalikan oleh emosi yang membara.
Tapi tidak apa-apa. Banyak orang harus melewati strata seperti itu sampai menemukan kesejatian masalah dan menemukan dirinya kelak. Asal, orang ini mau belajar.” “Tadi bagaimana Bapak menjelaskan substansinya, agar kalau kita sedang punya masalah tidak boleh menyalahkan orang lain?”
“Ya memang ada orang yang kena masalah lalu semua masalah itu dilemparkan ke orang lain. Semua akibat dari kesalahan orang lain. Ini jelas pengendalinya non Tuhan. Substansinya, karena orang itu merasa paling benar. Biasanya faktor pendukung utama orang semacam ini karena kesulitan ekonomi.”
“Ya memang karena faktor orang lain. Kesalahan dan masalah itu akibat kesalahan orang lain. Saya bermasalah karena akibatnya. Masak saya gak boleh menyalahkan orang lain?”
“Bagi orang beriman dan paham nila-nilai Illahiyah, kalau kena masalah maka yang pertama disalahkan adalah dirinya sendiri. Nah, ini tipe orang kedua. Dia menghadapi masalah tetapi dia bisa menyelesaikan masalah dengan tenang. Orang tipe semacam ini memandang masalah adalah salah satu rintangan atau dianggap ranting di tengah jalan yang harus disingkirkan.
Mereka sudah dewasa dan mampu menghadapi masalah dengan hati dingin, dengan mengedapankan ketenangan dan kedamaian.” “Tidak mudah itu, Pak. Mungkin teorinya mudah. Tetapi prakteknya sulit.” “Betul.
Tetapi orang yang mau belajar pada masa lalu, dan mengkualitaskan dirinya, akan mudah mencapai tahap itu.” “Bapak punya cara mengatasinya?” “Wah saya tidak punya cara khusus. Cuma, berdasarkan pengalaman selama ini, kalau saya ditimpa masalah maka yang pertama saya lakukan adalah menyalahkan diri sendiri dulu. Bagi saya, masalah yang datang itu sinyal dari Allah yang dikirimkan kepada saya untuk peringatan awal. Itu tandanya Allah sayang sama kita, agar waspada.”
“Lantas, Pak?” “Setelah mengoreksi diri, maka kita akan menemukan ada faktor kesalahan kita. Kalau toh masalah datang dari orang lain, itu hanya salah satu faktor yang mendukung. Dengan memahami itu, kita akan mampu mengurai masalah dan perlahan menemukan titik temu atau jalan keluar atas masalah tersebut.” “Bagaimana kalau penyebab utamanya jelas-jelas orang lain, dan kita kena akibatnya? Bagaimana kalau faktor utamanya bukan kita tetapi orang lain?”
“Boleh jadi pemicu masalah pada hari itu adalah orang lain. Tetapi kalau kita mau mengoreksi diri, yakini faktor kita akan besar. Misalnya, faktor nilai-nilai Ilahiyah yang menjadi penyebab. Misalnya, kita abaikan zakat sehingga harta kita ‘dimakan’ oleh masalah, kita pelit shodaqah, kita tidak pernah mau silaturahmi. Hal-hal semacam itu menjadi pendukung lahirnya masalah.”
“Waduh, kok jauh sekali kaitannya, Pak.” “Siapa bilang hidup ini tidak terkait. Semua saling terkait. Kalau kita sering menyusahkan orang, maka kelak kita akan disusahkan orang.
Kalau kita sering memudahkan orang, maka kelak kita juga akan dimudahkan. Memetik tanaman keburukan dan kebaikan tidak hanya berhenti pada hidup kita, tapi bisa juga merembet ke anak-anak kita.” “Masak segitunya, Pak?” “Saya meyakini betul itu.
Kalau saya hari ini diundang orang, saya didatangi orang untuk konsultasi seperti yang Bapak lakukan sekarang, saya dimuliakan orang karena kehadiran saya, maka semua bukan semata-mata karena saya membangun karier hingga mendapat berkah seperti itu. Saya yakin, itu karena buah dan tanaman ayah dan ibu saya zaman dulu.” “Wah itu tidak ada teorinya di zaman modern ini, Pak. Teori yang ada, kalau mau kerja keras maka akan sukses.”
“Boleh jadi itu tidak ada teorinya di masyarakat modern. Tetapi kita harus yakin atas kebenaran seperti itu. Maka, saya dan Bapak, hari-hari ini kalau bekerja atau bergerak, jangan pernah melupakan kebaikan. Jangan asal dapat uang tetapi menyakitkan hati orang. Jangan asal punya job tetapi melupakan keadilan. Karena, pada dasarnya, yang kita lakukan sekarang adalah tanaman untuk anak-anak kita kelak.”