Ilustrasi foto: pixabay.com

Esai : Yusron Aminulloh

KESEIMBANGAN otak dan hati sering diabaikan. Hati nurani kalah dengan pikiran. Maka, dalam konteks seperti ini, yang lahir adalah pikiran dan sikap yang tidak adil dalam melihat manusia lain. Banyak orang melihat Tuhan, membaca Allah hanya dengan persepsi. Padahal, persepsi kemanusiaan seseorang dibatasi oleh akal yang terbatas. Akibatnya, persepsi itu menyempitkan keluasan Allah, membatasi kebesaran Allah, bahkan mengkerdilkan kebesaran Allah yang Maha Besar. Dalam konteks persepsi, manusia sering tidak jujur dengan nuraninya. Sehingga ia disandera oleh dirinya sendiri dalam penjara persepsi.

Kalau manusia mau menyadari, memaknai, bahwa Allah itu Al Ghafaar, Maha Pengampun, Al Bhaasit, yang Maha Melapangkan Makhluknya, maka, kenapa banyak manusia sangat mudah mengklaim hanya dirinya dan kelompoknya yang benar dan kemudian menghukum dan memvonis orang lain sebagai pihak yang salah? Bahkan itu diklaim dengan mengatas-namakan Allah? Kenapa Allah mereka persepsikan hanya sebagai pemarah, dan sebagai hakim yang tidak adil dalam menghukum ummatNya?

Banyak sahabat kita, sesama manusia, melihat kebenaran dan ketidak-benaran hanya dengan persepsi otak. Ajaran Allah hanya diambil satu sisi. Dia menjadi hakim dengan kekuatan otak dan pikirannya, bukan mengacu pada kebenaran sejati yang sudah Allah tawarkan untuk kita pilih. Ini semua karena sempitnya ilmu dan lemahnya pemahaman akan hakikat Allah. Coba kita baca ulang sifat-sifat Allah yang 99. Dalam asmaul husna itu sangat jelas Allah memberikan pelajaran kepada manusia.

Anak-anak Adam sering terlalu cepat menilai. Yang digunakan menilai adalah mata wada’ yang penuh kelemahan. Bukan dengan mata batin yang diberikan Allah kepada makhluk istimewa bernama manusia. Akibatnya, keseimbangan otak dan hati sering diabaikan. Hati nurani kalah dengan pikiran manusia. Maka, dalam konteks ini, yang lahir adalah pikiran dan sikap yang tidak adil dalam melihat manusia lain.

Kegelisahan

Ada peristiwa yang hendaknya menjadi cermin bagi kita. Ada seorang penyair papan atas yang suatu hari gelisah atas ledekan temannya. D. Zawawi Imron, penyair asal Madura, bercerita tentang sahabatnya, Sutardji Calzoum Bachri sang Presiden Penyair Indonesia, yang tidak bisa tidur berhari-hari. “Ada apa, Ji? tanya Zawawi. “Kau tampak gelisah terus.”

“Aku sudah berhari-hari susah tidur. Gelisah atas ledekan seorang kawan penyair.” “Kenapa?” “Katanya sholatku tidak diterima Allah karena banyak tato di kulitku ini tidak bisa ditembus air wudlu. Bagaimana menurutmu?” Sutardji balik bertanya pada Zawawi.

Sekadar catatan, Sutardji di kala muda adalah seorang penyair bir. Kalau baca puisi, ia harus minum bir. Badannya tampak sangar karena penuh tato. Nah, ketika usia senja, ia menyadari kekurangannya saat muda itu.

Maka, ia kini rajin beribadah. Tetapi, ada temannya menggoda bahwa sholatnya dianggap percuma dan tidak dapat pahala karena wudlunya tidak sah. “Gitu saja koq jadi pikiran,” sergah Zawawi. “Kalau kepingin jawaban yang mantap, telepon saja guru dan kyai kita Gus Mus.”

Maka, Tardji pun menelepon K.H. A. Mustofa Bisri dan menceritakan apa yang dialaminya. “Gus, saya gelisah. Masak sih air wudlu tidak bisa menembus tato saya? Tapi, kalau tatonya harus dibersihkan, saya tidak kuat. Kulit saya sudah tua,” tuturnya. Mendengar keluhan Tardji, Gus Mus tidak langsung jawab namun malah tertawa panjang.

“Kok tertawa, Gus? Saya ini serius. Saya gelisah,” sergah Tardji. “Bung Tardji, tahu gak? Di Indonesia ini banyak orang susah. Cari makan, susah. Cari kerja, susah. Bahkan banyak orang di dusun-dusun sudah terpinggirkan dari desanya sendiri.

Tanah-tanah mereka sudah dikuasai juragan-juragan dari kota. Banyak juga orang tidur di lorong-lorong jembatan beratapkan awan.” “Hubungannya apa, Gus, dengan pertanyaan saya?” Gus Mus tertawa lagi.

“Kamu tahu betapa sibuknya Allah mengurusi orang-orang yang susah dan menderita di negeri ini. Jadi kamu sholat saja, gak usah mikir tato. Yakinlah Allah tidak sempat mengurus tatomu karena Allah sudah cukup sibuk mengurusi masalah orang-orang lain,” tegas Gus Mus. Sederhana, tetapi menghentak jiwa.

Jangan lihat teksnya, tetapi lihatlah apa yang ada di balik teks. Lihatlah substansinya. Kalau melihat sesuatu, jangan hanya mengandalkan persepsi. Ada tawaran dialektika.

Cara berpikir Sutardji atau kawan-kawannya yang elementer soal wudlu, tato, dan sahnya sholat, dibalas Gus Mus tidak dengan penjelasan panjang lebar soal hukum fiqih berwudlu, namun dengan hakekat kebesaran Tuhan. Sebagai manusia berakal, kita diajak berpikir dan bersikap dewasa. Kita diajak tidak mudah memvonis sesuatu dengan cara tidak tepat. Termasuk tentang perbedaan paham.

Padahal, itu lah yang belakangan ini menjadi problema umat Islam. Belakangan ini gerakan dan kelompok bergama baru yang mudah saling menyalahkan. Dalam banyak peristiwa yang lebih besar maupun yang lebih kecil di masyarakat, kita dituntut arif merespon dan menghadapinya. Jangan cepat menilai, bahkan memvonis. Pikiran sempit itu bisa jadi karena pemahaman kita terhadap ajaran Islam masih dalam level tekstual. Belum sampai ke level kontekstual.

By Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *