Esai : Yusron Aminulloh
ZAMAN ini telah mengajarkan kesalahan orangtua yang memiliki obsesi terlalu besar terhadap anaknya. Agar anaknya harus pintar, mendapat ranking satu, maka segala cara dilakukan orangtua. Padahal, bisa jadi itu justru kesalahan. Hampir semua orangtua di berbagai daerah yang bertemu saya selalu membanggakan anak-anaknya.
Ya, itu wajar dan manusiawi. Yang bisa saya tarik dari mereka ada dua hal. Ada orangtua yang membanggakan anaknya karena sesuatu yang memang harus dibanggakan. Namun, ada juga yang membanggakan sesuatu yang seharunya menjadi keprihatinan.
“Waduh, Pak, anak saya belajar full sehari. Pulang sekolah jam 2, istirahat sebentar, langsung ikut Bimbel. Sore pulang langsung ngaji. Jadi, Maghrib dia baru berhenti.
Malam, saya ajak belajar, dia sudah ngantuk. Tetapi karena pintar itu wajib, maka ya saya ajari meskipun dia ngantuk-ngantuk,” ujar wanita yang sebut saja bernama Bu Fulan. Seorang ibu lain berucap. “Anak saya pulang dari TK jam 10.00. Saya masih bisa, Pak, memasak dan mencuci. Anak saya itu pendiam dan tenang di rumah, meskipun saya sambi mengerjakan pekerjaan rumah,” tutur wanita yang sebut saja namanya Bu Fulin.
“Hebat dong anak ibu bisa tenang di rumah. Tidur, apa baca, apa sambil main?” tanya saya. “Saya belikan gadget, Pak. Dia main game kayaknya. Diam dan seru. Dia sampai ketawa-ketawa dan teriak sendiri kalau sedang asyik main game.”
Di kesempatan lain, ada seorang ibu mengeluh. “Anak saya, Pak, susah sekali berada di rumah. Pulang sekolah, ia langsung main sama teman-temannya. Naik sepeda, dolan-dolanan. Kadang, saat pulang, bajunya kotor sekali kena tanah,” papar wanita yang sebut saja bernama Bu Falin.
“Tapi,apa ia mau belajar dan ngaji, Bu?” tanya saya. “Ya. Kalau sore, ia ngaji di TPA. Habis Maghrib, ia belajar sama saya.” “Terus, apa yang digelisahkan, Bu?” “Mainnya itu lho, Pak. Masih kelas 3 SD, tapi kalau main sampai badannya hitam semua. Suka loncat-loncat dan main sepeda keliling kampung.” Ungkapan beberapa orangtua di atas bisa menjadi cermin bagi kita.
Saya yakin kebanyakan orangtua bangga dan membenarkan apa yang dilakukan dan dibanggakan Bu Fulan. Anak sibuk sekolah, sibuk les, adalah hal yang benar. Seolah sibuk semacam itu sudah menjadi kewajiban anak modern. Demikian juga penilaian terhadap yang dilakukan Bu Fulin.
Ibu ini merasa tetap bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik karena bisa mencuci, memasak, saat anaknya dibiarkan asyik main gadget. Seolah tidak ada persoalan. Sedangkan bu Falin yang gelisah karena anaknya main saja di luar, apakah benar atau salah? Mari kita baca perlahan.
Pertama, zaman ini telah mengajarkan kesalahan orangtua yang memiliki obsesi telalu besar terhadap anak. Agar anaknya pintar, mendapat ranking satu, maka segala cara dilakukan orangtua. Maka, sehabis sekolah yang sudah memeras energi, anak disambut dengan bimbel (bimbingan belajar). Sepulang bimbel, tidak ada waktu istirahat, anak langsung disuruh ngaji hingga Maghrib.
Meski kadang gak sempat ngaji karena padatnya jadwal bimbel. Pertanyaanya, betulkah perilaku ini? Betulkah anak zaman sekarang harus seperti itu? Adakah jaminan mereka akan menjadi manusia hebat saat dewasa nanti kalau ritme hidup hariannya seperti itu? Sejumlah pertanyaan lain banyak mengikuti. Tapi saya pribadi tidak sependapat dengan langkah ini. Anak harusnya diberi waktu untuk main dan menemukan dunianya. Belajar, apalagi bimbel, bukan jawaban masa depan, tapi hanya jawaban atas masalah jangka pendek.
Saya pribadi (orang lain silakan saja beda pendapat) tidak pernah mendorong anak-anak saya untuk menjadi juara, menjadi pintar, menduduki ranking tinggi, tetapi mereka kehilangan dirinya, dan kekuatan di dalam dirinya ‘dihabiskan’ oleh kekuatan dari luar yang bernama bimbingan belajar dan semacamnya. Saya tidak ingin anak saya bersama keluarga dengan hanya membawa ‘sisa-sisa’ energi setelah dikuras habis di luar rumah dalam peran sebagai botol kosong yang harus diisi berbagai pihak di luar sana.
Kedua, banyak orangtua memiliki kebanggaan artifisial. Seolah sukses, tetapi sebenarnya dia hanya mengalihkan problem dirinya menjadi problem anaknya. Salah satu contohnya ya Bu Fulin tadi. Ia merasa anaknya tidak bermasalah dan tidak menganggu ibunya yang sedang memasak dan mencuci. Tetapi, anaknya ini ternyata diberi gadget yang sebenarnya bisa membunuh syaraf-syarat kecerdasan anak.
Anak usia TK harusnya justru motorik halus dan kasarnya diasah dengan ragam permainan. Bukan dengan gadget. Ketenangan anak saat itu karena ia terbius game yang ia mainkan, atau gambar-gambar binatang, tumbuhan dan mainan yang menyenangkan, tetapi ia tidak bisa menyentuh dan berpelukan dengan apa yang ia mainkan itu. Peran boneka, diganti oleh gambar.
Ketiga, kegelisahan Bu Falin adalah kegelisahan dan kemarahan wajar seorang ibu modern. Yang takut anaknya hitam karena kepanasan, yang takut anaknya lecet karena naik sepeda, dan seterusnya. Padahal, anak yang sakit karena terjatuh, yang kulitnya menghitam karena kepanasan, yang berkeliling kampung lalu memahami alam semesta, sebenarnya anak itu dengan bercengkerama dengan ilmu yang luar biasa. Kalau di sekolah atau bimbel, anak dikenalkan teks, kata-kata dan kalimat. Dengan bermain, bergaul dengan banyak anak, berkeringat dalam ragam kegiatan, anak justru menemukan sejatinya ilmu.
Maka, saya sebagai orangtua, mengizinkan anak-anak saya melakukan kegiatan apa saja asal positif. Anak saya yang cewek sudah terbiasa kehujanan dan kepanasan dengan motornya. Justru itu ilmu sejati yang kelak ia butuhkan dalam berkehidupan. Jadi, sebagai orangtua, kita dituntut belajar terus untuk menemukan sejatinya pendidikan.