Emha Ainun Nadjib, yang akrab disapa Cak Nun, merupakan salah satu tokoh Indonesia yang dikenal sebagai penjaga moral bangsa. Melalui karya sastra dan aktivitas sosialnya, ia telah memberikan kontribusi besar dalam membangun kesadaran masyarakat. Cak Nun tidak hanya menulis puisi dan esai, tetapi juga aktif berkeliling Indonesia untuk mendidik masyarakat melalui dialog, pengajian, dan diskusi terbuka. Kiprahnya telah menginspirasi banyak orang untuk melihat Indonesia secara lebih mendalam, dengan segala kompleksitas dan potensinya.
Emha Ainun Nadjib lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 27 Mei 1953. Ia adalah anak keempat dari limabelas bersaudara. Lingkungan tempat ia tumbuh adalah sebuah desa yang sarat dengan nuansa religius, yakni Desa Menturo, Sumobito, Jombang. Pendidikan formalnya dimulai di Sekolah Rakyat, kemudian ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Gontor. Meski tidak menyelesaikan pendidikannya di sana, pengalaman di pesantren tersebut membentuk dasar pemikirannya yang religius sekaligus kritis. Masa kecilnya yang penuh dinamika menjadi pondasi kuat bagi karya-karyanya di kemudian hari.
Cak Nun memainkan peran penting dalam masa reformasi 1998, sebuah periode krusial dalam sejarah Indonesia. Ia dikenal sebagai salah satu figur yang mampu mendekati Presiden Soeharto dan memberikan masukan yang bernas. Dalam salah satu momen yang bersejarah, Cak Nun berhasil meyakinkan Soeharto untuk mundur dari jabatan presiden demi kepentingan bangsa. Ungkapan legendaris Soeharto, “Gak jadi presiden gak patheken”, merupakan hasil dari pendekatan persuasif Cak Nun. Momen ini menjadi tonggak penting yang menunjukkan bahwa peran intelektual dan moral bisa membawa perubahan besar dalam politik nasional.

Salah satu program khas yang dikelola oleh Cak Nun adalah Pengajian Padhangmbulan, yang diselenggarakan di desanya di Menturo. Pengajian ini bukan hanya sekadar forum keagamaan, melainkan juga ruang dialog antar masyarakat dari berbagai latar belakang. Dengan gaya komunikasi yang santai dan penuh makna, Cak Nun mampu menarik ribuan orang untuk datang ke pengajiannya. Mereka bukan hanya mencari pencerahan spiritual, tetapi juga wawasan tentang kehidupan sosial dan kebangsaan. Pengajian ini menjadi wadah penting bagi masyarakat untuk merenungkan makna kehidupan dengan perspektif yang lebih luas.
Cak Nun juga berjasa dalam mengenalkan dan mempopulerkan sholawat di kalangan masyarakat Indonesia. Ia membawa sholawat keluar dari ruang-ruang tradisional ke panggung-panggung yang lebih luas, menjadikannya sebagai sarana ekspresi religius yang universal. Melalui sholawat, ia menyampaikan pesan-pesan damai, cinta, dan toleransi. Kini, sholawat tidak hanya menjadi ritual keagamaan, tetapi juga bagian dari budaya populer yang menyatukan berbagai kalangan masyarakat. Kontribusinya ini membuat sholawat menjadi lebih hidup dan bermakna dalam kehidupan sehari-hari.
Maiyah adalah komunitas yang dibentuk dan diasuh oleh Cak Nun, yang awalnya bermula dari pengajian sederhana. Kini, jamaah Maiyah telah berkembang pesat, bahkan hingga mancanegara. Komunitas ini menjadi ruang diskusi yang inklusif, di mana setiap orang bisa berbagi gagasan tanpa merasa dihakimi. Dengan pendekatan yang humanis dan dialogis, Cak Nun berhasil menciptakan suasana belajar yang dinamis dan penuh semangat kebersamaan. Jamaah Maiyah tidak hanya membahas isu-isu keagamaan, tetapi juga sosial, budaya, dan politik, menjadikannya sebagai salah satu komunitas intelektual yang berpengaruh.
Sebagai putra asli Jombang, Emha Ainun Nadjib layak disebut sebagai salah satu tokoh besar dari daerah tersebut. Ia tidak hanya membawa nama Jombang ke kancah nasional, tetapi juga internasional melalui kiprah dan pemikirannya. Cak Nun adalah simbol kebanggaan bagi masyarakat Jombang, yang mampu menggabungkan nilai-nilai religius dengan wawasan kebangsaan yang luas. Dengan segala kontribusi dan pengaruhnya, Cak Nun telah membuktikan bahwa ia adalah sosok yang tidak hanya menjaga Indonesia, tetapi juga terus mendorong bangsa ini menuju masa depan yang lebih baik.