Esai : Yusron Aminulloh
LANGKAH nenek ini saat berangkat kerja ternyata bukan hanya bekerja. Tetapi itu adalah dzikir. Ia berdzikir kepada Allah dengan caranya, yakni bekerja memuliakan orang lain.
Ibadahnya sudah menyatu dalam dirinya. Ia tidak memakai teori, namun langsung mempraktekkan. Ia menyatukan dirinya dalam keabadian menuju surgaNya.
Kalau Anda sempat berada di markas Kepolisian Daerah Jawa Timur, di jalan A. Yani Surabaya, carilah nenek mulia ini. Sebut saja namanya Supartini. Usianya 87 tahun atau lebih. Dulu, ia karyawan sipil di Mapolda Jatim.
Tapi, saat buku ini ditulis, ia berdagang. Jam 06.00 – 12.00, ia di sana untuk berjualan kue. Ia pedagang yang disayang banyak orang. Bukan saja karena mantan karyawan di situ, tetapi keteguhannya memberi inspirasi banyak orang.
Nenek ini menjadi potret ibu sejati, pejuang kehidupan, dan bahkan sikap kerja keras. Mari kita bandingkan dengan yang lain. Di jalan-jalan, masih banyak ibu berusia relatif lebih muda tetapi sudah menjadi peminta-minta. Tanpa malu, mereka menengadahkan tangan, dan menikmati hari-harinya dari belas kasihan orang.
Meski pekerjaannya meminta-minta, secara ekonomi mereka ini diam-diam lebih mapan dibanding para pekerja keras lainnya. Namun, sebagai pengemis, mereka telah menihilkan harga dirinya habis-habisan. Maka, Supartini ini harusnya menjadi tamparan bagi ibu-ibu muda yang tidak mau mengabdikan hidupnya untuk kehidupan.
Saat saya temui, nenek ini tangkas menjawab setiap pertanyaan dengan bahasa lugas. “Nenek usia berapa? Kok masih kerja?” “Saya 87 tahun, Nak. Saya masih kuat kok.” “Bukankah nenek pensiunan karyawan POLDA JATIM, dan punya pensiunan?”
“Ya, Nak. Gaji pensiunan saya cukup. Karena saya sekolah SR, pensiun saya Rp 1,6 juta.” “Lho, bukankah itu sudah cukup untuk hidup Nenek?” “Ya sangat cukup. Tapi saya kerja bukan semata cari uang, tetapi mencari kegiatan.”
“Kalau sudah usia tua seperti Nenek, mencari kegiatan itu ya ke masjid. Masak harus kerja?” “Wah, kalau ke masjid itu nomor satu. Tetapi kerja ini kan siang dan tidak mengganggu sama sekali ibadah. Saya jualan ini biar tidak melamun dan agar badan menjadi sehat.
Kalau pagi saya ikut naik prahoto (truk polisi) untuk berangkat. Pulangnya naik angkutan kota. Alhamdulillah, nambah sehat.” Dialog ini sederhana namun menarik. Ini mengungkap kesederhanaan memaknai usia; dengan kerja dan bukan dengan bicara; dengan langkah, bukan dengan mengeluh; dengan energi positif dan tanpa energi negatif sedikitpun.
Dalam dialog berikutnya, saya merasakan getaran jiwa. “Kue yang Nenek jual ini hasil membuat sendiri apa beli dulu dari orang lain, Nek?” “Oh, saya tidak membuat, tetapi kulakan di tetangga.” “Berapa belinya?” “Rp 4.000, Nak.”
“Lho, kok Nenek jual Rp 5.000? Untungnya kecil. Harusnya nenek jual Rp 6.000. Kan Nenek perlu ongkos transpor dan lain-lain.” “Kasihan anak-anak (polisi dan karyawan Polda, maksudnya).” “Kenapa kasihan, Nek?”
“Ya mereka kan bekerja untuk anak-anaknya. Biar uangnya dikumpulkan, bisa untuk anak-anaknya sekolah dan tidak habis untuk hanya beli kue. Jadi saya cari untung kecil saja, gak apa-apa. Sudah cukup. ”Jawaban itu menghentakkan hati saya.
Nenek ini memberikan pelajaran kepada kita; betapa ia tidak hanya memikirkan diri sendiri namun memikirkan orang lain (konsumenya). Nenek ini pedagang yang sempat memikirkan anak-anak pelanggannya, memikirkan keluarga orang yang dilayani dengan keikhlasannya. Saya memberikan tiga catatan atas kisah nyata nenek yang mulia ini.
Pertama, hidup itu yang penting adalah ending-nya. Kemuliaan nenek yang sudah bekerja keras selama 40 tahun ini adalah hari senjanya –saat sudah pensiun– tidak ia pakai untuk sekedar enak-enakan dan berdiam diri di rumah. Ia tetap bekerja sehingga tidak ada lagi waktu luang untuk melamun. Perjalanan yang ditempuhnya setiap hari cukup jauh.
Ia pergi dari rumah jam 06.00 dan pulang jam 12.00. Jarak rumahnya di kawasan Pacarkeling menuju Mapolda di Jalan A Yani sekitar 16 kilometer. Akibat langkahnya yang panjang dan rutin, nenek ini mendapat keberkahan berupa kesehatan. Sementara, banyak orang lain yang berusia 60 hingga 70 tahun, saat pensiun, sudah merasakan hari demi hari semakin berat dijalani karena penyakit yang datang bergiliran satu-persatu.
Kedua, yang dilakukan nenek mulia ini tidak semata-mata mencari uang tetapi mencari kegiatan. Meski tidak seberapa banyak uang yang ia dapatkan dari dagangan setiap hariya, tetapi ia merasa bahagia karena punya kegiatan. Coba lihat dialog di atas. Ia tidak mau mencari keuntungan banyak, karena ia memikirkan konsumennya yang juga punya anak dan keluarga. Ini langkah konkrit untuk bershadaqah dengan cara indah.
Sementara, banyak orang yang secara ekonomi berkecukupan namun saat usia senja mereka tidak mau berbagi karena merasa takut penghasilannya berkurang karena sudah tidak punya penghasilan lagi. Bahkan, ketika diajak bekerja sosial, mereka juga enggan karena kemampuan fisik sudah sangat terbatas. Jika dibandingkan dengan nenek usia 87 tahun ini, tentu kita patut malu.
Ketiga, ketika sang nenek ditegur bahwa masa tua adalah untuk ibadah maka dengan tegas ia menjawab bahwa ke masjid adalah nomor satu. Artinya, nenek ini boleh dibilang ahli ibadah. Bahkan kesempurnaan ibadahnya diteruskan dengan bekerja dan bekerja. Dalam bahasa K.H. A. Mustofa Bisri, langkah nenek ini bukan hanya bekerja tetapi berdzikir.
Ia berdzikir kepada Allah dengan caranya sendiri, yakni dengan bekerja memuliakan orang lain. Ibadahnya sudah menyatu dalam dirinya. Ia tidak memakai teori, namun langsungn mempraktekkan. Ia menyatukan dirinya dalam keabadian menuju SurgaNya. Pingin rasanya saya mencium erat-erat nenek dan wanita mulia ini.