Esai : Yusron Aminulloh
DI TENGAH begitu hiruk pikuk pembicaraan tentang bersih tidaknya parah Hakim di jajaran dunia peradilan, saya jadi ingat seorang Hakim yang layak kita cermati perjalanan hidupnya. Saya tidak mengenal dekat secara pribadi, meski beberapa kali bertemu beliau. Tetapi Allah menjadikan ia menjadi cermin, tatkala salah seorang anaknya, adalah sahabat saya.
Namaya, Zaenal Arifin, SH. Beliau kalau tidak salah baru saja pensiun sebagai anggota Komisi Yudisial. Pria kelahiran Bondowoso, 11 November 1940 mengawali karir di bidang hukum sebagai hakim di Pengadilan Negeri di kota kelahirannya, Bondowoso (1974), selanjutnya ia ditugaskan sebagai hakim di Pengadilan Negeri Gresik (1981).
Lulusan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya tahun 1971 sekaligus pemilik hoby bermain tenis lapangan ini diangkat sebagai asisten Hakim Agung, Mahkamah Agung RI di tahun 1981-1986, kemudian di tahun berikutnya, Bapak 10 anak ini bertugas di Kupang sebagai hakim di Pengdilan Negeri Kupang.
Jabatan sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bukit Tinggi (1995-1997) meneruskan karir pria yang pernah aktif sebagai anggota HMI Surabaya ini.
Dilanjutkan sebagai Hakim Tinggi Jayapura (1997-1999), Wakil Kepala Pengadilan Tinggi Palu (2001-2002), Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Timur (1999-2004), Kepala Pengadilan Tinggi Aceh (2003-2005). Hingga akhirnya ia terpilih sebagai Anggota Komisi Yudisial RI dengan jabatan Koordinator Bidang Pengawasan Kehormatan, Keluhuran Martabat dan Perilaku Hakim.
Yang ingin saya kisahkan dalam catatan sederhana ini adalah tauladannya. Bukan perjalanan beliau sebagai Hakim, tetapi perjalanan beliau sebagai pribadi. Meski tidak dapat dipungkiri perjalanan hidup sebagai pribadi dan kepala rumah tangga, selalu sinkron dan segaris dengan pejalanan karier. Karena seorang hakim bisa tegar dan tidak terpengaruh “mafia hukum” juga karena kuatnya benteng keluarga. Disinilah peran istri dan keluarga sangat dominan.
Pak Zaenal, dalam kesehariannya adalah seorang yang suci. Minimal dalam menjaga diri. Beliau selalu menjaga kesucian dengan wudlu. Jadi begitu batal, ia langsung wudlu. Tutur katanya halus dan lembut. Ibadahnya tidak perlu ditulis lagi sempurnanya. Dan perilaku itu ternyata berkorelasi langsung dengan profesinya sebagai hakim. Maka bukan suatu yang mengagetkan kalau sudah mendekati pensiun baru bisa membeli sebuah rumah sederhana.
Malahan, saat Zaenal muda, ketika menjadi Hakim di sebuah kota kecil di luar Jawa, di subuh buta sholat, ia rela menjadi sopir mobil bak yang mengangkat sayur dipasar. Ia jalani itu tiap hari dengan penuh keikhlasan dan tidak ada seorang pun yang tahu kalau pada siang harinya, Zaenal adalah seoran
Memenangkan Peperangan Fajar
Hakim yang mulia dan dihormati dalam persidangan. Semua itu ia jalani dengan penuh keikhlasan demi mencukupi kebutuhan rumah tangganya.
Baginya Hakim adalah amanah yang mulia. Ia tidak mau menodai dengan menerima suap atau “hadiah” yang berkaitan dengan profesinya sebagai hakim. Ia jaga betul perjalanan dirinya menjalankan amanah tersebut. Ia didik anak-anaknya dengan rezeki kemuliaan, ia jaga diri martabat sebagai hakim tidak dengan kekayaan tetapi dengan kemuliaan dan harga diri. Sesuatu yang sedang tidak banyak dimiliki oleh hakim kebanyakan di negeri ini.
Santunnya kehidupan juga menjadi kehidupannya sehari-hari.
Suatu hari anaknya yang sekarang sudah berkeluarga dan secara ekonomi mapan, bercerita:
“Bapak saya kalau mau butuh uang bilangnya aneh..”
“Aneh bagaimana ?”
“Nak bulan depan bapak mau butuh uangnya Rp 5 juta. Tolong pinjemi ya… dan saya bilang sekarang biar kamu siap-siap. Insya Allah bapak cicil tiap bulan dari pensiun bapak.”
“Subhanallah..”
“Ya itu bapak saya, sedangkan kawan kawan saya saja pada dateng pinjam 5 jt sampai 20 jt mintanya hari ya hari ini.”
Bapak yang mulia ini, yang membesarkan anaknya, yang menyekolahkan dan akhirnya menjadikan anaknya orang sukses, ternyata masih memposisikan diri sebagai orang tua yang tidak mau merepotkan anak kandungnya sendiri. Dan yang luar biasa, beliau tidak mau diberi, beliau tetap pinjam.
“Yang mengagetkan, ternyata uang pinjaman tadi ternyata untuk membelikan hadiah bagi cucunya yang adalah anak saya sendiri,”tambah kawan ini.
“Lantas ?”
“Ya itulah bapak..”
Makna yang ingin saya garis bawahi dari kisah ini adalah: Betapa mulianya seorang Zaenal Arifin. Ia bisa gagah menghadapi zaman, ia bisa kontrol diri menghadapi godaan dan ia bisa bersahaja menjalani kehidupan. Saya yakin, seorang Zaenal tidak mungkin mampu menjalani posisi seperti itu kalau dia juga tidak didukung oleh istri yang mulia. Wanita yang tidak mengejar ngejar suami untuk mendulang kekayaan dan melupakan martabat kemanusiaan.
Seperti yang saya tulis: “Wanita berkewajiban memberikan keteduhan pada pria. Agar pria punya kekuatan menebarkan kebaikan dan punya nyali menghadapi tantangan.”
Semoga kita mau bercermin dari pantulan keikhlasan seorang Zaenal Arifin. **