Esai : Yusron Aminulloh
BANYAK orang berhasil menghadapi ribuan ujian dan melewatinya dengan kebahagiaan. Tetapi tidak sedikit orang yang justru gagal dalam kehidupan karena tidak mampu menyikapi dan menata hatinya ketika mendapat pujian. Banyak orang mendapat kemudahan dariNya, tetapi tidak menyadari kalau kemudahan itu datang dariNya. Mereka menganggap kemudahan, rezeki melimpah, karier yang melambung tinggi, karena hasil dari kerja keras mereka sendiri, kesungguhan usaha dan keberanian mereka dalam menghadapi kehidupan. Sehingga yang terjadi, keberhasilan mereka anggap berdiri sendiri.
Mereka anggap kebahagiaan itu linier dengan kesungguhan dan kerja keras. Mereka melupakan peran Tuhan dan ajaranNya. Cara berpikir kapitalistik diam-diam sudah mempengaruhi banyak orang. Meski pada akhirnya mereka akan mencari ‘kesunyian’ ketika keramaian dan kemegahan sudah pada titik puncak.
Kebahagiaan sejati bukan pada kesuksesan, pada kemapanan ekonomi, dan tingginya karier. Karena itu semua adalah dunia dan sifatnya sementara. Mereka tatkala usia senja akan merasakan terpuruk, karier berhenti, orang tidak lagi menghormati, tidak lagi melayani. Mereka baru merasakan sepinya dunia.
Yang menarik lagi, meski memahami agama, tetapi mereka memilih ‘kulitnya’ dibanding hakekatnya. Sekarang banyak kelompok masyarakat yang melakukan gerakan ‘Selalu berhitung dengan Allah’. Artinya, mereka melakukan apa saja di dunia ini dalam rangka hitung-hitungan dengan Allah.
“Saya bantu 1 juta orang miskin, agar langsung dapat balasan Allah 10 juta.”
“Saya menyekolahkan 10 anak yatim, agar mendapat rezeki melimpah.”
“Saya pergi haji tiap tahun biar dianggap alim.”
Dan seterusnya.
Salahkan? Tentu jawabnya relatif. Cuma, keikhlasannya terkurangi karena mereka berbakti masih dalam tahapan ‘jual beli’ dengan Allah. Memberi untuk mendapat imbalan. Bahkan sejumlah ustadz mengajarkan ummatnya selalu berhitung dengan Allah. Jika perlu, kaya dunia dikejarnya.
Rasulullah itu tak pernah berhenti bersedekah, tetapi rumah Beliau mungkin cuma setara satu petak rumah orang modern. Rasulullah itu tidak berhenti menyantuni anak yatim, tetapi baju Beliau bisa dihitung dengan jari. Rasulullah itu tidak pernah berhenti berdakwah dan menegakkan kebenaran, tetapi untuk makan saja Beliau sering tidak ada yang dimakan, sampai-sampai Beliau harus berpuasa. Itu karena Kanjeng Nabi tidak ada satu titik pun pernah ‘perhitungan dengan Allah’.
Semua diikhlasi untuk berbakti padaNYa. Banyak orang salah berterima kasih dan salah menyanjung atas keberhasilan. Mereka kira yang membuat sukses adalah seseorang, baik atasan ataupun pihak yang menunjang kesuksesan mereka, termasuk perusahan, lembaga atau partai. Akibatnya, mereka salah berterima kasih. Bukan berterimakasih kepada Tuhan, tetapi kepada pihak yang dianggap mensukseskan kariernya. Posisi Tuhan hanya dianggap sebagai pelengkap.
Ujian dan Hukuman
Banyak orang mendapat ujian dariNya, tetapi mereka tidak menyadari bahwa itu ujian. Bahkan mereka hanya menganggap itu sebagai kecelakaan atau periode ketidak-beruntungan. Bagi kelompok masyarakat seperti ini, hidup adalah ‘perjudian’. Ada kalanya kalah, ada kalanya menang.
Ada yang di atas, ada yang di bawah. Ada masa jaya, ada masa terpuruk. Mereka tidak mampu memaknai ketidak-beruntungan, musibah dan bahkan hancurnya karier dan usaha itu sebagai ujian atau hukuman dari Allah. Selama ini, dua hal tersebut seolah disamakan, padahal maknanya jauh berbeda.
Orang sering salah menyebut ujian, padahal sebenarnya hukuman. Orang juga sering salah mengira hukuman, padahal itu hanya ujian. Hukuman bisa terkait pada kesombongan diri, karena ketidak-ikhlasan, karena kemunkaran, bahkan karena keberanian kita melawan Tuhan dengan menomorsatukan dunia dibandingNya. Hukuman bisa terkait pada berani melawan orangtua, meniadakan silaturahmi, tidak adil melihat kehidupan.
Beberapa contoh di atas adalah ciri orang yang bakal mendapat hukuman. Sedangkan yang mendapat ujian adalah orang yang sudah baik pada orang lain, sudah santun dalam kehidupan, tetapi diberi cobaan berupa kegagalan misalnya dalam karier dan ekonomi. Dalam ujian, Allah bermaksud jika orang semacam ini sabar menghadapinya maka kelak ia akan lulus ujian dan maqomnya segera ditinggikan. Ada sebagian orang yang mengukur keindahan dengan kemuliaan harta, kedudukan dan status seperti dewa. Itu lah yang menjadikan mereka tidak akan pernah mencapai puncak kesejatian. Puncak kebahagiaan itu bisa dicapai di tengah kesunyian. Tetapi kebanyakan orang lebih memilih keramaian.
Tetapi hidup ini pilihan. Silahkan memilih. Mau bangga dan bahagia ditepuki ribuan orang karena keberhasilan, atau mau minggir mencari kebahagiaan di kesunyian. Banyak orang berhasil menghadapi ribuan ujian dan melewatinya dengan kebahagiaan. Tetapi, tidak sedikit orang yang justru gagal dalam kehidupan karena tidak mampu menyikapi, menata hatinya, ketika mendapat pujian. Ujian dan pujian adalah ranjau yang harus kita lewati dengan kebersahajaan.