Gunung-gunung di Jombang dan Legendanya

Lekak-lekuk punggung Gunung Anjasmoro yang memikat.

SatuJombang.com – Gunung adalah bentuk permukaan batuan dan tanah yang letaknya lebih tinggi daripada pada tanah-tanah sekitarnya. Definisi ketinggian gunung biasanya 600 meter di atas permukaan laut, dan memiliki puncak. Makin tinggi gunung, suhunya makin rendah. Gunung umumnya memiliki lereng curam dan tajam. Gunung bisa berdiri tunggal, namun biasanya ada dalam rangkaian sejumlah gunung di sekitarnya yang disebut pegunungan.

Di Kabupaten Jombang, kawasan lebih tinggi ada di sisi tenggara. Di situ ada rangkaian Pegunungan Anjasmoro. Gunung Anjasmoro (2.282 mdpl) menjadi salah satu puncak tertingginya. Yang juga tinggi, ada Gunung Argowayang (2.162 mdpl).

Kemudian, ada sejumlah gunung yang lebih kecil antara lain; Gunung Gede 1 (1.629 m), Gunung Gentonggowok (1.942 m), Gunung Gede 2 (1.868m), Gunung Watujuwadah (1.629 m), Gunung Tambakmerang (1.360 m). Yang lebih rendah ada lagi, yakni Gunung Kuncung dan Gunung Kekep. Lalu, ada Bukit Pecaringan, Bukit Gandrung, Bukit Seloringgit.

Sementara itu, bagian utara Kabupaten Jombang berdiri di atas daratan kapur yang landai dari sisi timur Pegunungan Kendeng. Umumnya merupakan perbukitan struktural lipatan. Morfologinya dicirikan oleh pola kontur yang kasar, dengan kemiringan lereng 16-40 %. Pola kontur yang tidak teratur ini karena pengaruh proses erosi. Banyak perbukitan antara lain Selolanang, Gunung Guwo, Gunung Wadon, Gunung Resek, Gunung Pucangan. Meski dinamai gunung, tempat-tempat itu lebih tepat disebut bukit.

Asal nama Gunung Anjasmoro konon berasal dari bahasa Sansekerta; anjas berarti benteng dan asmara berarti cinta. Menurut legenda masyarakat, bentuk-bentuk geologi Gunung Anjasmoro mengandung kisah cinta.

Dikisahkan, pemuda Joko Mujung akan dinikahkan dengan putri Ratu Pantai Selatan. Joko Mujung ini putra Roro Bubuh selir Raja Majapahit yang dalam pengasingan di Wonosalam. Layaknya pernikahan, banyak persiapan digelar. Pernikahan dilaksanakan malam karena pengantin putri berasal dari kalangan makhluk halus.

Saat pengantin putri datang ke kediaman pengantin putra, tak disangka pagelaran penyambutan berlangsung terlalu lama. Fajar keburu menyingsing, ayam jantan berkokok, tanda datangnya pagi disertai kilauan sinar mentari. Tamu-tamu dari bangsa jin kalang kabut, kocar-kacir menyelamatkan diri dari kedatangan Sang Fajar. Banyak kue dan sajian makanan berserakan ditinggalkan begitu saja.

Sisa-sisa sajian kue lapis bisa disaksikan sekarang di lekuk-lekuk batu berlapis di Air Terjun Selo Lapis. Sisa nasi yang masih dikukus kini jadi Puncak Kukusan. Tempat penyimpanan beras dan dapur untuk makanan para tamu juga membatu menjadi Selo Lumbung. Pagelaran Wayang untuk hiburan para tamu juga membatu jadi bukit Selo Ringgit. Ayam yang berkokok menjadi batu disebut Watu Jengger. Alas Nagasari konon dari kue nogosari yang berserakan pasca bubarnya pernikahan.

Mengetahui acaranya kacau, Joko Mujung duduk terdiam sambil meluruskan kaki di samping panci kukusan yang masih mengepulkan asap. Ibunya, yakni Roro Bubuh, menghiburnya sambil meratapi sisa-sisa acara. Karena itu, rangkaian Pegunungan Anjasmoro kadang tampak seperti orang sedang tidur atau meluruskan kaki. Jika dilihat dari Bareng, view di samping Puncak Kukusan tampak seperti ada orang tidur berbaring.

Ada juga legenda yang dikaitkan dengan Majapahit. Dulu, Raden Wijaya bangsawan Majapahit pernah mendirikan istana di daerah Mojoagung sebelum mendirikan istana utama di Trowulan. Karena dekat Majapahit, Gunung Anjasmoro digunakan sebagai tempat bertapa para bangsawan kerajaan. Dari situ, ada cerita tentang Anjasmoro.

Konon, Anjasmoro itu putri cantik dan berbudi luhur dari Patih Logender. Sebagai wujud kehormatan kepada putri itu, gunung yang ada di sana diberi nama Gunung Anjasmoro.

Entah, apa benar begitu? Yang pasti, kisah-kisah tentang Anjasmoro merupakan kearifan lokal yang kita bisa ambil pelajarannya. Setidaknya, pegunungan Anjasmoro senantiasa menebarkan kasih pada alam dan penduduk di sekitarnya. Banyak lokasi goa, air terjun, mata air, sungai, ceruk dan lembah. Puluhan bukit memenjang berkelok-kelok dengan lebar sekitar 1-3 meter yang masyarakat sering sebut sebagai punggung ular naga.

Gunung Kuncung bisa didaki dengan kendaraan bermotor karena relatif tidak tinggi. Medannya memang turun dan naik cukup curam. Tapi, sudah ada jalan yang sering dilewati orang. Di atas, ada makam yang dikeramatkan. Diyakini, itu makam Waliwonosegoro si pembabat alas Wonosalam.

Ada yang menyebut, makam ini tempat Raja Brawijaya V moksa. Ada juga yang menyebut, Waliwonosegoro adalah Raja Brawijaya V yang memilih menjadi rakyat biasa selepas menjadi raja Majapahit.

Nama ‘kuncung’ untuk gunung ini terinspirasi dari kuncungnya Semar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *