SatuJombang.com – Teater berasal dari hahasa Yunanti, theatron (θέατρον). Sebagai bentuk karya seni, teater termasuk seni bermain peran (drama) yang menyajikan cerita kehidupan di atas pentas. Turahmat menyebutkan, teater memiliki beberapa arti. Dalam arti luas, teater adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dalam arti sempit, teater adalah drama kisah kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media percakapan, gerak, dan laku, didasarkan pada naskah yang tertulis dilengkapi dekor, kostum, make up, nyanyian, tarian dan sebagainya[1]. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, pakar literatur Jawa, menyebut ‘seni teater rakyat biasa’ sebagai ‘volkstoneel’.
Di Jombang, ada seni dari zaman kuno yang kini dikenal sebagai ‘lerok.’ Antropolog James L. Peacock, dalam bukunya Rites of Modernization yang terbit 1969, menyebutnya ‘lyrok’.
Konon, pada abad ke-13 hingga ke-14, seputar zaman Majapahit, sudah ada seni lerok. Pemain mengenakan bedak (pupuran) tebal di wajahnya lalu naik panggung. Lerok kala itu memiliki makna mistis dan fungsi sosial, seperti ritual pengobatan atau penyembuhan[2].
Pada era berikutnya, lerok berkembang seiring zaman. Misalnya, pada abad ke-17 sampai ke-18, di masa peralihan zaman Sultan Agung Hanyokrokusumo kala menghadapi VOC hingga zaman Sunan Amangkurat Mas, seni lerok juga muncul. Di era menjelang berakhirnya Hindia-Belanda, lerok menjadi sumber ide seni besutan.
Besutan juga akulturasi budaya budaya Arek dan budaya Mataraman. Akulturasinya pada percampuran dialek Suroboyoan dan dialek Ngawi-Kediri menjadi dialek Jombangan. Bukankah wilayah Jombang yang berbatasan dengan Ngawi dan Kediri dan Jombang dulunya wilayah eks-karesidenan Surabaya?
Sebagai teater tutur atau lisan gaya rakyat jelata, konon besutan muncul pada tahun 1907. Ada petani sederhana namun jenaka dari Desa Ceweng, Kecamatan Gudo. Santik, si petani itu, biasa ngamen diiringi musik lisan atau musik dari mulutnya sendiri. Saat ngamen, wajahnya dipupuri seperti lerok. Kemudian, ia menggandeng Amir dari Desa Plandi ngamen dengan diiringi musik kendang. Lalu, ada Pono yang didandani seperti wanita (wedokan) untuk menarik perhatian penonton.
Ngamen untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka membuat parikan sebagai berikut: keyong nyemplung neng blumbang/ tinimbang nyolong aluwung mbarang[3]. Karena ngamen ini melibatkan aktivitas mbesot (menari) maka berkembang istilah besutan. Seni yang berasal dari spontanitas Masyarakat ini kemudian dihayati oleh lingkungannya dan berkembang sesuai zaman.
Meski sama-sama teater tradisional, ada yang membedakan lerok dengan besutan. Sama-sama menyamarkan wajah dengan pupuran, besutan sudah menampilkan lebih banyak pemain dan peran. Sama-sama menyairkan pesan, lerok kuno lebih ke magis dan besutan lebih ke pencerminan kondisi masyarakat nyata. Meski awalnya garingan, besutan kemudian berkembang menggunakan alat musik sederhana misalnya cimplung siter dan kendang.
Dalam berbagai pentas besutan, ada pemeran utama lelaki bernama Pesut atau Besut. Kemudian, ada tokoh perempuan (kadang wedokan) bernama Rusmini, sosok paman bernama Gondo Jamino, dan tokoh antagonis Sumo Lancur atau Sumo Gambar.
Bukan hanya pupur, busana mereka juga berkembang. Ragam ceritanya juga disesuaikan. Malahan, besutan bisa digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan sindiran pada pemerintah kolonial karena keadaan ekonomi yang tidak baik. Lewat besutan, tersampaikan aspirasi masyarakat pada pemerintah kolonial era Belanda mupun Jepang.
Seiring dengan pergeseran zaman, besutan pun menjadi lebih kompleks dengan tambahan pemain, alat musik pengiring, panggung, pakaian dan lain-lain. Materi pesan pun mulai makin banyak ke arah hiburan. Ada bagian-bagian tertentu yang berisi banyolan. Ini pada akhirnya memunculkan istilah ludruk besutan.
[1] Turahmat, Teater (Teori dan Penerapannya), (Semarang: Pustaka Najwa, 2010), hal. 2
[2] Autar Abdillah, INOVASI PERTUNJUKAN TEATER TRADISIONAL LUDRUK DI WILAYAH BUDAYA AREK, MUDRA VOLUME 24 NO.1 JANUARI 2009, hal. 18 – 28
[3] Henri Supriyanto, Lakon Ludruk Jawa Timur. Grasindo. Jakarta. hlm. 8