Budaya  

Seni Teater Tradisional Jombang (2)

Ludruk, Gambus Misri

Teater berasal dari hahasa Yunanti, theatron (θέατρον). Sebagai bentuk karya seni, teater termasuk seni bermain peran (drama) yang menyajikan cerita kehidupan di atas pentas. Turahmat menyebutkan, teater memiliki beberapa arti. Dalam arti luas, teater adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dalam arti sempit, teater adalah drama kisah kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas dengan media percakapan, gerak, dan laku, didasarkan pada naskah yang tertulis dilengkapi dekor, kostum, make up, nyanyian, tarian dan sebagainya[1]. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, pakar literatur Jawa, menyebut ‘seni teater rakyat biasa’ sebagai ‘volkstoneel’.

Awalnya, istilah ‘ludruk’ sering dikaitkan dengan sesuatu yang jenaka. Menurut Prof Wojowasito, pada abad ke-17, istilah ludruk dikaitkan dengan badhut atau bebadhutan (penari atau menari jenaka). Salah satu buktinya adalah Raja Gajayana dari Kerajaan Kajuruhan pada masa mudanya adalah penari, sehingga candi peninggalannya disebut Candi Badhut.

Suripan Sadi Hutomo juga menemukan istilah ‘ludruk’ pada naskah tembang dandanggula Rara Mendhut – Pranacitra karangan Raden Ngabehi Renggosutrasno tahun 1820 dan naskah tembang pucung Babad Ranu Grati[2].

Lalu, di Jombang ada juga istilah ludruk lerok yang menggambarkan tradisi lerok dengan dibumbui tarian jenaka. Juga berkembang ludruk besutan. Hingga akhirnya ludruk menjadi istilah tersendiri.

Pada tahun 1930-an, Cak Gondo Durasim pelawak besutan menyusun rombongan berpentas dalam bentuk seperti teater. Dia menciptakan pertunjukan drama lengkap dengan berbagi tokoh berbeda menurut cerita yang ditampilkan. Persis seperti ludruk-ludruk pada masa keemasannya. Ada penari, ada pelawak, ada cerita inti, ada musik pengiring, ada panggung, dan lain-lain.

Pada masa perlawanan terhadap penjajah, berkembang juga tari remo yang ditandai dengan kepala gela-gelo dan kaki nggedrug bumi.

Ludruk mengalami kemajuan pesat setelah kemerdekaan RI namun nyaris dibungkam total era revolusi komunis, dan berkembang lagi di era Orde Baru. Saat ini, salah satu ludruk yang eksis di zaman milenial adalah kelompok Budhi Wijaya dari Ngusikan.

Meski demikian, ludruk juga punya kritik. Salah satunya, muncul seni ‘gambus misri’ di Pesantren Tebuireng yang diciptakan santri bernama Asfandi[3]. Jika ludruk punya background masyarakat jelata, gambus misri lebih menekankan corak keislaman. Jika ludruk pakai musik gamelan, gambus misri pakai musik ala Arabia.

Yang menarik, berbagai jenis seni teater tradisional bisa berjalan beriringan di Jombang. Munculnya satu seni baru tidak serta merta menghancurkan seni yang lain. Tak heran jika seni lerok, besutan, ludrukan, gambus misri, bisa tumbuh bersama-sama dengan pemain yang mungkin saja sama.

Tantangannya cuma satu; bagaimana masing-masing seni teater rakyat ini bisa bertahan melawan modernisasi.


[1] Turahmat, Teater (Teori dan Penerapannya), (Semarang: Pustaka Najwa, 2010), hal. 2

[2] Suripan Sadi Hutomo. 1989. Anelusur Asal-Usul lan Tegese Tembung Ludrug. Surabaya: Majalah Penyebar Semangat. hal. 30

[3] Utomo, A., Dermawan, T., & Pratiwi, Y. (2023). Transformasi cerita dalam ludruk menjadi cerita Gambus Misri di Kabupaten Jombang. Satwika : Kajian Ilmu Budaya Dan Perubahan Sosial, 7(1), 209–222. https://doi.org/10.22219/satwika.v7i1.25373

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *