Budaya  

Seni Teater Tradisional Jombang (3)

Wayang Topeng

Ada satu lagi bentuk seni teater tradisional yang punya jalur perkembangan agak berbeda di Jombang, yakni wayang. Dalam konteks seni, wayang dapat dianggap sebagai teater karena melibatkan pertunjukan panggung, narasi, karakter, dan dialog. Mungkin metode dan estetika wayang berbeda dari bentuk teater lainnya seperti ludruk, drama atau opera, namun prinsip dasar pertunjukan teater masih ada dalam seni wayang. Wayang orang, teater. Wayang kulit, wayang boneka, tetap teater karena melibatkan pementasan meski aktornya bukan manusia.

Wayang wong berkembang dari sentra budaya keraton di Jogjakarta atau Surakarta. Di Jombang, tidak ada wayang wong. Yang ada justru wayang topeng. Sama-sama pemerannya manusia, tapi aktor dalam wayang topeng mengenakan topeng karakter. Wayang topeng di Jombang ada di Jatiduwur Kecamatan Kesamben. Wayang ini dikelola Ibu Sumarni generasi keenam pewayang topeng.

Wayang topeng Jatiduwur ini seni pertunjukan tradisional rakyat berbentuk teater total yang memadukan unsur tari, drama, sastra, musik, dan rupa. Dengan materinya cerita Panji, ada drama verbal yang dituturkan dalang, sementara semua penari memakai topeng beserta perlengkapan sesuai karakter tokoh yang dibawakan. Selain cerita serius, ada juga unsur lawakan oleh para punakawan. Diiringi alunan gamelan Jawa laras Slendro, tempat pertunjukannya berbentuk arena yang biasanya di halaman rumah atau panggung. Mulanya, wayang topeng digunakan masyarakat setempat sebagai upacara ritual, ruwatan, atau ketika seseorang bernadza yang harus dipenuhi. Bahkan, warga Desa Jatiduwur mengkeramatkannya sehingga hanya kalangan tertentu yang boleh nanggap. Kini, setelah diangkat jadi menjadi hiburan rakyat, siapa saja bisa nanggap[1]. Cerita Panji dalam wayang topeng mengandung nilai-nilai kepahlawanan, nilai kesuburan terkait bibit kawit, nilai pengorbanan atau pengabdian kepada negara, nilai tapa brata pengendalian hawa nafsu[2].

Akulturasi tidak hanya dengan Yogyakarta atau Surakarta, tapi juga dengan Cina. Di desa Gudo, Kecamatan Gudo, ada seni wayang potehi. Wayang ini berupa boneka kayu dengan kantong kain yang bersambung ke bagian kepala. Tampilan kostum dan karakter wajah wayang memberikan kesan emosi dari berbagai karakter. Secara fisik, wayang potehi mirip wayang tengul. Namun, bed acara memainkannya. Cara memainkan wayang potehi lebih mirip dengan memainkan boneka Si Unyil. Dalang memasukkan tangan ke kantung yang membentuk badan wayang. Dari dalam kantung, dalang menggerakkan wayang. Wayang potehi biasanya ditampilkan di halaman klenteng sebagai wujud persembahan para dewa. Di Gudo, memang ada Klenteng Hong San Kiong[3].


[1] Prayogo Widyastoto Waluyo, WAYANG TOPENG JATIDUWUR JOMBANG DALAM KRIYA BATIK, Tesis, PASCASARJANA INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA, 2015

[2] Setyo Yanuartuti, Joko Winarko & Jajuk Dwi Sasanadjati, Nilai Budaya Panji dalam Wayang Topeng Jombang dan Relevansinya pada Pendidikan Karakter, Gondang: Jurnal Seni dan Budaya, 5 (2) (2021): 222-234

[3] Wihdatur Rahma, Dody Doerjanto, ANALISIS WAYANG POTEHI DI DESA GUDO KABUPATEN JOMBANG, Jurnal Pendidikan Seni Rupa, Volume 04 Nomor 02 Tahun 2016, 205–213

Exit mobile version