Hari ini, kita hidup di zaman ketika gelar dan jabatan akademik menjadi standar prestise. Banyak yang mengejar publikasi bereputasi, berburu indeks Q1, atau sekadar menyandang “profesor” di kartu nama. Tapi, pertanyaan mendasarnya, khususnya untuk para cendekiawan muslim: apakah semua itu mengokohkan kita sebagai pewaris nabi?
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tapi mereka mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang besar.” (HR. Tirmidzi, no. 2682)
Hadis ini bukan pujian kosong. Tetapi warning atau pengingat tanggungjawab berat: bahwa seorang cendekiawan sejati bukan sekadar pemilik ijazah atau bergelar sarjana bahkan guru besar, tapi pemilik ijazah atau sarjana atau guru besar yang penyambung cahaya risalah, pembawa nilai-nilai kenabian ke tengah umat.
Ilmu Itu Amanah, Bukan Hanya Aset
Dalam ajaran Islam, mencari ilmu itu tidak sekadar untuk dikumpulkan, atau sekedar untuk bangga-banggaan, tapi untuk disalurkan, untuk dimanfaatkan. Imam Ahmad pernah berkata, “Ilmu itu bukan yang dihafal, tetapi yang memberi manfaat.”
Sayangnya, kini tak sedikit cendekiawan yang menjadikan ilmunya seperti brankas pribadi, tersimpan rapi dalam jurnal-jurnal berbayar, tapi tidak pernah menyentuh warga yang membutuhkan panduan hidup. Bahkan, tidak jarang ilmunya digunakan untuk meraih kekuasaan, bukan untuk melayani umat.
Padahal, dalam sebuah hadis yang lain, Rasulullah SAW memperingatkan: “Siapa yang ditanya tentang ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka akan dikekang dengan kendali dari api neraka.” (HR. Abu Dawud, no. 3658)
Pada artikel yang lalu ada pembaca yang mempertanyakan keshahihan hadis ini. Saya ingin tegaskan bahwa hadis ini adalah hadis yang sahih dan diriwayatkan dalam beberapa kitab hadis utama. Yaitu dalam Sunan Abu Dawud, no. 3658. Sunan Tirmidzi, no. 2649. Sunan Ibnu Majah, no. 261. Musnad Ahmad, ada banyak nomor (263, 305, 344, 353, 495, 499, 508). Ibnu Hibban dalam Shahih-nya. Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra. Al-Hakim dalam Mustadrak.
Para ulama hadis mengklasifikasikan hadis ini sebagai hasan shahih, yang berarti memiliki derajat keshahihan yang kuat dan dapat dijadikan hujah dalam pengambilan hukum atau nasihat.
Hadis ini mengingatkan kita bahwa ilmu adalah amanah yang harus disampaikan. Menyembunyikan ilmu, terutama ketika ditanya dan mampu menjawab tapi tidak dilakukan, adalah tindakan yang sangat tercela dalam Islam. Sebagai konsekuensinya, orang yang menyembunyikan ilmu akan mendapatkan hukuman yang setimpal di akhirat, yaitu dikekang dengan tali dari api neraka.
Dalam konteks ini, ilmu bukan hanya untuk kepentingan pribadi atau akademik, tetapi harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Oleh karena itu, cendekiawan muslim dituntut untuk aktif menyebarkan ilmu yang dimiliki, baik melalui pengajaran, tulisan, maupun media sosial, demi memberikan manfaat bagi masyarakat luas.
Waratsatul Anbiya
Menjadi pewaris nabi berarti mewarisi misi dakwah, akhlak, dan pengabdian. Para nabi tidak hanya bicara di mimbar, tapi menyentuh hati manusia. Mereka mendidik, membina, mengajak, bahkan menangis dalam doa agar umatnya mendapat hidayah.
Bandingkan dengan sebagian cendekiawan muslim hari ini yang hanya muncul di forum-forum elitis, tapi absen dari ruang-ruang kemanusiaan. Ilmunya tinggi, tetapi jangkauannya rendah. Apalagi cendekiawan muslim dan sekaligus menjadi pengurus ICMI tapi sepi dari peran dalam mengedukasi, menginspirasi, dan mencerahkan umat.
Bukan Menara Gading, Tapi Menara Cahaya
Tokoh-tokoh besar Islam seperti Ibn Sina, Al-Farabi, atau Al-Ghazali, bukan hanya menulis buku, tapi juga menghidupkan nilai-nilai di tengah masyarakat. Mereka hadir, membina, dan berkhidmat. Mereka tidak menunggu undangan, tapi menjemput kebutuhan umat.
Inilah yang disebut oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas sebagai adab dalam ilmu: ilmu yang digunakan dengan tujuan benar, cara benar, dan untuk maslahat yang benar (Al-Attas, 1980).
Saatnya Menyambung Risalah
Cendekiawan muslim sejati tak puas dengan prestasi pribadi. Ia resah jika umat tak tercerahkan. Ia gelisah jika anak muda kehilangan arah. Ia sedih jika ilmu yang dia miliki hanya menjadi bahan pidato, bukan untuk suluh kehidupan.
Menjadi pewaris nabi berarti menyampaikan ilmu dengan kasih, bukan dengan marah. Dengan niat melayani, bukan mencari nama. Dan dengan kesadaran bahwa ilmu yang tak dibagikan akan menjadi bara api neraka.
Mari, kita kembalikan identitas cendekiawan sebagai waratsatul anbiya, yaitu: menerangi, membina, dan menuntun. Bukan sekadar bangga menghitung, mengumpulkan dan mencetak angka sitasi.